fenomena guru konten kreator apakah merusak profesi guru ?
Ada postingan menarik dari Iman Zannatul Haeri mengenai fenomena guru konten kreator yang semakin marak muncul di TikTok ataupun Instagram. Ini adalah bagian yang menarik untuk dibahas pada postingan kali ini.
Iman Zannatul Haeri bertanya, "Apakah guru konten kreator itu merusak profesi guru?"
Dalam penelitian kualitatif terhadap 21 guru di Turki, ditemukan bahwa beberapa guru muda dan kurang berpengalaman memiliki kebiasaan terus-menerus memproduksi konten digital dan berbagi video virtual di kelas atau sekolah (Kiziltas, 2023).
Hal ini menyebabkan siswa menjadi bahan "perdagangan virtual". Tentu saja, ini bisa mengganggu siswa dan melanggar hak-hak anak, seperti menampilkan wajah siswa, menunjukkan capaian nilai, atau bahkan meminta mereka untuk berderma di depan kamera.
Para siswa yang seharusnya mendapatkan layanan pendidikan malah dijadikan bahan konten tanpa izin dan tanpa manfaat langsung bagi mereka. Kiziltas juga menyebutkan bahwa terkadang anak-anak dengan masalah belajar dijadikan bahan konten komedi oleh beberapa guru, yang jelas melanggar etika.
Tanggapan saya terhadap hal ini sejalan dengan pendapat tersebut. Saya pernah melihat kasus wali murid yang mengeluhkan anaknya dijadikan konten, padahal anak tersebut menolak untuk direkam. Hal ini jelas kontradiktif karena siswa bukanlah bahan konten, apalagi jika guru mendapatkan keuntungan finansial dari video tersebut. Saat ini memang belum ada aturan yang jelas terkait pelarangan, sehingga semua bergantung pada lingkungan dan etika masing-masing guru.
Mengapa guru pemengaruh sulit berhenti membuat konten?
Banyak guru pemengaruh beralih ke internet dan media sosial sebagai bentuk pelarian dari hal-hal negatif, seperti lingkungan sekolah yang toxic. Hal ini kadang menjadi alasan mereka mengundurkan diri dari profesi guru atau justru memperburuk situasi di lingkungan pendidikan.
Menurut Schroeder, Shelton, & Curcio, ada tiga elemen kunci konsumerisme guru pemengaruh yang perlu dicermati:
- Memuliakan penciptaan dan kreativitas. Guru pemengaruh sering membuat perangkat ajar baru dan mengajak guru lain untuk melakukan hal yang sama.
- Memuliakan kesibukan. Mereka memperkuat gagasan bahwa "kesibukan" adalah keutamaan, dengan terus menunjukkan kesibukan bekerja.
- Membingkai ilusi kebaruan. Mereka secara terus-menerus mengadaptasi sumber daya atau produk edukasi baru yang sering kali tidak signifikan dampaknya pada kualitas pembelajaran.
Meski penelitian ini dilakukan di negara lain, kasus serupa bisa saja terjadi di Indonesia. Namun, hingga saat ini masih bersifat kebetulan dan belum dapat digeneralisasi.
Di akhir tulisannya, Iman menyatakan bahwa ini adalah isu rumit di dunia pendidikan karena batasannya sangat kabur. Penelitian independen yang memetakan perbedaan hasil belajar antara guru konten dan guru non-konten sangat diperlukan. Jika ternyata tidak ada perbedaan signifikan, maka pertanyaan yang perlu diajukan adalah, "Konten mereka sebenarnya untuk siapa?"
Alfian Bahri juga menyoroti bahwa fenomena guru konten kreator ini sebagian diciptakan dan difasilitasi oleh pemerintah. Namun, hasilnya sering kali dipertanyakan, terutama jika para guru lebih sering meninggalkan kelas untuk pelatihan tanpa memberikan dampak nyata pada sekolahnya.
Tanggapan Saya
Fenomena guru konten kreator ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, guru dapat memanfaatkan platform digital untuk berbagi ilmu, membangun reputasi profesional, dan menjangkau audiens yang lebih luas. Namun, di sisi lain, ada risiko penyalahgunaan, seperti menjadikan siswa sebagai bahan konten tanpa persetujuan atau memprioritaskan popularitas di media sosial dibandingkan tanggung jawab utama sebagai pendidik.
Yang menjadi garis besar adalah:
- Hak dan perlindungan siswa harus diutamakan. Siswa tidak boleh dijadikan alat konten tanpa izin mereka atau orang tua.
- Pentingnya keseimbangan. Guru harus bisa memisahkan profesi sebagai pendidik dengan aktivitas sebagai konten kreator, sehingga kualitas pendidikan tetap terjaga.
- Regulasi dan kode etik. Pemerintah dan institusi pendidikan perlu membuat aturan yang jelas untuk menjaga etika dan profesionalisme guru di era digital.
Guru konten kreator yang baik adalah mereka yang mampu memanfaatkan platform digital untuk menambah nilai pendidikan, tanpa mengorbankan hak siswa atau tugas utamanya sebagai pendidik.